Kanal

Kelapa Sawit Jadi Rebutan untuk Energi, Ancaman Krisis Pangan Makin Nyata

BEDELAU.COM --Kenaikan suhu global berdampak pada semakin tingginya intensitas cuaca ekstrem seperti El Nino yang terjadi sepanjang 2023.

Alhasil, kondisi ini berakibat pada terganggunya produktivitas bahan pangan seperti beras dan minyak goreng. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan produksi pangan yang lebih adaptif sebagai upaya mengantisipasi dampak krisis iklim dengan beralih pada keberlanjutan pangan.

Berdasarkan data Bapanas, produksi beras periode Januari-April 2024 hanya 10,7 juta ton, lebih rendah 2,28 juta ton (17,57 persen) dibandingkan periode sama 2023 yang mencapai 12,98 juta ton.

"Jadi, volume produksi beras dari Januari hingga Maret 2024 diprediksi lebih rendah dibanding produksi beras pada dua atau tiga tahun lalu. Sehingga, kondisi ini merupakan musim paceklik yang luar biasa," ujar Plt. Direktur Ketersediaan Bapanas, Dr. Ir. Budi Waryanto, M.Si, dalam diskusi bertajuk Bahan Pokok Mahal: Pentingnya Keberlanjutan Pangan di Tengah Krisis Iklim, beberapa waktu lalu.

Berkurangnya produksi beras tidak terlepas dari cuaca ekstrem yang terjadi sepanjang 2023. Vice Chair Working Group I, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) & Profesor Meteorologi dan Klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Edvin Aldrian, mengatakan bahwa 2023 merupakah tahun terpanas dengan kenaikan suhu global hingga 1,52 derajat Celcius.

Hingga Maret 2023, tercatat kenaikan suhu ini melebihi batas yang ditetapkan pada Perjanjian Paris yaitu 1,5 derajat Celcius.

Menurut laporan IPCC, tambahnya, pada tahun 2030 kenaikan suhu bumi diperkirakan akan naik lebih cepat dari beberapa prediksi sebelumnya. Perkiraan yang dirilis pada 2019 menyebutkan 2052 kenaikan suhu akan tembus beberapa derajat. Namun, perkiraan terbaru yang dirilis 2020 menyebutkan, level suhu tersebut akan dicapai pada 2042 alias 10 tahun lebih cepat.

"Suhu di bumi sudah melebihi 1,5 derajat celcius sepanjang dua belas bulan, Januari sampai Desember 2023. Kondisi ini terjadi 10 tahun lebih cepat dari prediksi sebelumya," ungkapnya.

Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Supari menyebutkan bahwa El Niño yang terjadi pada tahun 2023 merupakan kategori El Nino Moderat dengan indeks anomali suhu muka laut di Pasifik tengah mencapai nilai 2,0 pada Desember 2023.

Menurutnya dampak El Nino luar biasa terutama pada bulan Agustus hingga Oktober yang ditandai curah hujan yang sangat rendah terjadi di beberapa wilayah, bahkan kondisi tanpa hujan paling tinggi selama 222 hari tidak ada hujan di Lombok, NTB.

Sementara itu, Climate Researcher dari Traction Energy Asia, Ahmad Juang Setiawan mengungkapkan, permasalahan iklim juga menjadi ancaman atas produktivitas kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng.

Ia mengatakan, dampak krisis iklim seperti banjir, kekeringan, asap karhutla (kebakaran hutan dan lahan), memengaruhi produktivitas kelapa sawit melalui beberapa hal seperti pergeseran musim panen, menurunnya kualitas, rusaknya tanaman, hingga potensi kematian tanaman.

Hal lainnya yang berpotensi mengganggu ketersediaan minyak goreng adalah penggunaan kelapa sawit untuk biodiesel. Semakin tinggi tingkat pencampuran biodiesel, ketersediaan minyak goreng berpotensi akan menurun.

Dia menyebut, secara umum stok minyak goreng terancam oleh dua hal, yaitu krisis iklim yang memengaruhi produktivitas kelapa sawit, dan biodiesel yang memengaruhi jatah minyak sawit untuk diolah menjadi minyak goreng. Juang mengatakan, dalam empat tahun terakhir, terjadi peningkatan konsumsi minyak goreng saat menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri sebesar rata-rata 38 persen.

Namun, jika ditelusuri lebih lanjut, kebutuhan akan energi lambat namun mengalami peningkatan. Pada bulan Agustus 2023, alokasi CPO untuk energi sudah melebihi alokasi untuk pangan, yaitu melebihi 1 juta ton - sementara pangan dibawah 1 juta ton.

Hal ini seiringan dengan regulasi pemerintah untuk meningkatkan produksi biosolar, yang juga dikenal sebagai program pencampuran Bahan Bakar Nabati (B35). Menurutnya terdapat peluang besar dalam memanfaatkan minyak jelantah (Used Cooking Oils) sebagai bahan baku komplementer biodiesel.

Pengumpulan dan pengelolaan UCO sebagai biodiesel dapat menyelesaikan dua masalah lain yaitu masalah kesehatan dan lingkungan. Minyak jelantah berdampak negatif jika digunakan secara berulang, dan berdampak buruk pada lingkungan jika dibuang sembarangan.

Juang juga menambahkan salah satu caranya untuk menuju pangan yang berkelanjutan adalah dengan melihat kembali kearifan lokal yang telah dikembangkan oleh petani-petani kecil di daerah yang sudah mempunyai mekanisme adaptasi perubahan iklim.

Ia mencontohkan seperti yang dilakukan pada masyarakat adat di Kasepuhan, Banten Selatan yang memiliki berbagai jenis varietas padi yang sudah disesuaikan dengan berbagai musim. Selain itu, mereka juga memiliki sistem prediksi awal musim tanam yang cukup baik untuk yang tingkat akurasinya bahkan bisa menyaingi model prediksi kontemporer (berbasis ENSO, suhu muka laut) pada daerah mereka sendiri.

Menurutnya hal ini penting untuk memberikan masukan yang berharga bagi pemerintah. Ia juga menekankan pentingnya diversifikasi sistem pertanian dibanding menggunakan menggunakan satu sistem yang sama untuk semua daerah. "Pada kenyataannya, setiap daerah memiliki keunikan dan kebutuhan tersendiri yang harus dipertimbangkan," tambahnya.

Dosen dan Peneliti Pangan di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB), Angga Dwiartama khawatir karena sistem pangan kita, khususnya padi, sangat ringkih terhadap guncangan seperti El Nino. Menurutnya, berpikir secara 'business as usual' dalam produksi pangan harus ditinggalkan demi mengantisipasi krisis iklim dan beralih ke arah keberlanjutan pangan.

Ia mengungkapkan tiga rekomendasi utama untuk adaptasi perubahan iklim dalam sektor pertanian padi. Pertama, pemerintah harus membangun infrastruktur lokal yang sesuai dengan karakteristik sosio-ekologis setiap wilayah. Sentralisasi produksi pertanian harus dihindari, dan infrastruktur yang tangguh harus dibangun sesuai dengan sistem ekologis-sosial setempat.

edua, dengan mayoritas petani padi Indonesia termasuk dalam kategori petani gurem yang rentan terhadap guncangan, pemerintah harus meningkatkan akses mereka terhadap sumber daya pertanian yang mencukupi, seperti lahan, air, dan sarana produksi.

Ketiga, penguatan kapasitas masyarakat pedesaan secara luas melalui praktik adaptasi perubahan iklim juga penting. "Masyarakat perdesaan tidak hanya tentang pertanian, dan pemahaman yang lebih luas tentang strategi penghidupan dan praktik adaptasi perubahan iklim di pedesaan dapat memperkuat ketangguhan masyarakat terhadap perubahan iklim," tuturnya.

 

 

Sumber: Jawapos.com

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER