BEDELAU.COM --Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti melarang penanaman kelapa sawit di wilayahnya. Kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Kelompok yang setuju memahami kebijakan tersebut sebagai upaya penyelamatan ekosistem Kepulauan Meranti yang didominasi areal gambut. Sementara, kubu yang kontra menilai tindakan pemda tersebut akan berdampak pada ekonomi masyarakat, dengan alasan kelapa sawit dapat membawa kesejahteraan.
Di dunia maya, suara kritis mempertanyakan larangan penanaman kelapa sawit di wilayah Kepulauan Meranti pun terus menjadi perbincangan. Warganet menilai, larangan penanaman kelapa sawit harus diikuti pelarangan terhadap hutan tanaman industri (HTI) dengan monokultur akasia atau eukaliptus. Mereka meminta agar tanaman akasia juga dilarang di Kepulauan Meranti.
Sebagaimana diketahui, wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti tergolong sebagai pulau kecil bergambut yang letaknya berbatasan langsung dengan negeri jiran Malaysia. Meski merupakan teras NKRI, Menteri Kehutanan justru menerbitkan izin konsesi HTI seluas puluhan ribu hektare di Pulau Tebingtinggi, Pulau Rangsang dan Pulau Padang
"Bagaimana dengan perusahaan HTI akasia di Pulau Padang dengan ketebalan tanah gambut yang seharusnya dilarang untuk HTI," kritik akun TikTok @#AKARNAFAS.
"Dan bagaimana hutan akasia di Rangsang tempat kami, banyak hama yang berkembang..dan memakan lahan masyarakat. Bagaimana? Apakah ada larangan untuk itu?" sergah akun @Andhix Yvci-sp.
Netizen lainnya meminta agar Bupati Kepulauan Meranti juga meninjau ulang keberadaan HTI yang dikelola oleh PT Sumatera Riang Lestari (SRL), perusahaan pemasok bahan baku industri kertas PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).
"Seharusnye bupati tinjau ulang soal HTI PT SRL yg ade di Meranti karena berdampak buruk bagi masyarakat, tanaman kelapa semue rusak karena ade kumbang atau hame dari akasia tersebut," tulis @pemburu karet.
"Akasia tuh mengambil lahan masyarakat dan negara secara paksa kok diem pemerintah," celoteh @? ? ? ? ?.
Warga lainnya pun mengeluh karena saat kesulitan dalam mengelola lahan. Mereka menilai keberadaan perusahaan HTI telah mengambil lahan yang luas di Kepulauan Meranti.
"Kami tak punya lahan hutan lg, hutan kami udah dikuasai perusahaan nanam akasia, jadi perluas apa lg, nak makan aja sekarang susah.. apalagi modal nk buka lahan," sindir @BroUje123.
"HTI tak kau larang, Pulau ragsang mau hbis kene hembat, hutan hbis, kanal2 banyak, kebun orang pun kene kanal, tak de pon surat larangan," cetus @Iwan Cahbae'x.
Surat Edaran Larangan Tanam Sawit
Sebelumnya, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kepulauan Meranti mengeluarkan surat edaran resmi kepada jajaran camat. Dalam surat bernomor: 800/DKPP-SEKRE/143 tanggal 6 Mei 2025, pemda menjadikan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kepulauan Meranti yang tidak mengakomodir pengembangan perkebunan kelapa sawit. Larangan ini bertujuan menjaga kelestarian lingkungan serta meminimalkan risiko kerusakan ekologis yang bisa ditimbulkan oleh perluasan perkebunan sawit.
Surat ditandatangani oleh Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kepulauan Meranti, Ifwandi pada 6 Mei 2025, memuat beberapa poin penting yang kini menjadi perhatian seluruh masyarakat.
Surat itu menegaskan bahwa, berdasarkan ketentuan RTRW yang berlaku, wilayah Kepulauan Meranti tidak diperuntukkan untuk pengembangan atau penanaman komoditas kelapa sawit. Hal ini sesuai dengan Perda Nomor 8 Tahun 2020 tentang RTRW, yang menjadi dasar hukum pelarangan tersebut.
Tak hanya soal aturan, pemerintah daerah juga mengingatkan risiko serius yang mengintai jika larangan ini diabaikan. Aktivitas penanaman kelapa sawit di luar zona yang telah diatur dinilai berpotensi merusak lingkungan, melanggar hukum, dan akan dikenai sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Dalam surat itu, pemerintah juga menghimbau masyarakat untuk tidak membuka lahan baru atau menanam kelapa sawit di wilayah Kepulauan Meranti. Pesan ini ditujukan tidak hanya kepada masyarakat umum tetapi juga kepada para camat sebagai pemimpin administratif di setiap kecamatan.
Para camat diinstruksikan agar segera menyampaikan informasi ini kepada seluruh kepala desa dan lurah di wilayah kerja masing-masing, untuk kemudian diteruskan kepada masyarakat secara luas. Tak hanya berhenti pada penyampaian informasi, para camat juga diminta melakukan pengawasan aktif di lapangan dan segera melaporkan potensi pelanggaran kepada instansi terkait.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, Ifwandi menegaskan, keputusan melarang sawit bukanlah tanpa dasar. Aturan itu jelas tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kepulauan Meranti. Dalam regulasi tersebut, sawit secara tegas dinyatakan sebagai tanaman yang tidak diperbolehkan di wilayah ini, terutama karena mayoritas lahan—sekitar 90 persen—adalah lahan gambut yang sensitif.
“Larangan itu berdasarkan Perda RTRW yang menyebutkan bahwa sawit memang dilarang untuk ditanam. Kami melihat perkembangan sawit cukup masif. Kalau dibiarkan, nanti malah saya yang disalahkan karena tidak menegur, padahal aturan sudah jelas,” ujar Ifwandi dengan nada tegas.
Ia juga menjelaskan bahwa secara teknis, tanaman sawit memang dikenal membutuhkan banyak air untuk bertahan hidup, sementara lahan gambut yang menjadi karakteristik wilayah Meranti sangat rentan terhadap kekeringan dan kebakaran.
“Kalau sawit ditanam secara masif, ini rawan sekali. Tanaman ini banyak menyerap air, sementara lahan kita gambut. Bisa-bisa kekeringan dan mudah terbakar,” jelasnya.
Namun, Ifwandi mengakui bahwa hingga saat ini belum ada kajian ilmiah yang secara eksplisit menyatakan bahwa sawit tidak cocok ditanam di lahan gambut. Hanya saja, Perda RTRW sudah mengunci bahwa sawit tidak boleh dikembangkan di daerah ini, sementara jenis tanaman lain masih diperbolehkan.
“Belum ada kajian yang menyebut sawit benar-benar tidak cocok di lahan gambut. Tapi aturan Perda kita memang melarang sawit, hanya tanaman lain yang diperbolehkan,” tutupnya.
Sumber: SM News.com