Sidang Suap dan TPPU Pengurusan Izin HGU, Rp400 Juta Disetor ke Rekening Pembantu Eks Kepala Kanwil BPN Riau

Selasa, 23 Mei 2023

PEKANBARU,BEDELAU.COM --Eks Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau, Muhammad Syahrir, membuka sejumlah rekening untuk menyimpan uang yang diterimanya. Namun rekening itu tidak dibuat atas nama Syahrir tapi nama orang lain.

Hal itu terungkap dalam persidangan perkara suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestari (PT AA), Selasa (23/5/2023). Syahrir mengikuti persidangan melalui video conference.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan lima saksi dalam persidangan itu. Mereka adalah asisten rumah tangga (ART) di rumah dinas Syahrir, Okta Maya Sari, keponakan Syahrir, Yudi Ariadi, tenaga hhonorer di BPN Pekanbaru, Julia Dwi Cantika, dan pegawai di Bank Negara Indonesia (BNI).

Okta Maya Sari dalam kesaksiannya di hadapan majelis hakim yang diketuai Dr Solomo Ginting mengatakan, dirinya pernah bekerja di rumah dinas Kepala Kanwil BPN Riau di Jalan Kartini Nomor 61 Pekanbaru. Saat itu rumah tersebut ditempati oleh Syahrir.

"Bekerja di rumah dinas sejak Desember tahun 2020 hingga September 2022. Terima gaji Rp2.700.000 dari BPN ditransfer ke rekening BNI. Dibayar melalui kantor BPN," ujar Okta.

Dalam kurun waktu tersebut, kata Okta, dirinya memiliki nomor rekening di BNI. Rekening itu dibuat atas suruhan dari Syahrir pada Februari 2021.

Untuk membuat rekening itu, saksi datang ke Kanwil BPN Riau. "Dipanggil (Syahrir) ke ruang kerjanya. Di ruangan ada Ariadi dan terdakwa dan ada pegawai BNI. Syaratnya NPWP dan KTP," tutur Okta.

Setelah rekening selesai dibuat, Okta mengaku ada uang Rp400 juta yang disetor ke rekeningnya. Namun, saksi tidak mengetahui dari mana asal uang teraebut karena tidak pernah melakukan penyetoran tunai.

Menurut Okta, dirinya juga tidak mengetahui bagaimana uang itu masuk ke rekeningnya. "Karena buku tabungan pada terdakwa sejak pembuatan," tutur Okta.

Okta mengatakan dirinya pernah menggunakan rekening tersebut atas perintah Syahrir. "Pernah tarik tunai untuk keperluan rumah tangga Rp 5.000.000," ungkap Okta yang menceritakan kesaksian dari gedung KPK di Jakarta.

Okta yang saat ini bekerja di Tangerang, menyebut di rumah dinas tersebut ditinggali beberapa orang. Selain Syahrir, juga ada Yudi, Gibson dan Abdul Gani. "Standby tapi tak nginap," ucap dia.

Hal senada juga disampaikan saksi Yudi Ariadi. Saksi yang merupakan anak dari sepupu Syahrir menyebut kalau dirinya juga pernah disuruh terdakwa membuat rekening di BNI.

Pembuatan rekening juga dilakukan di ruang kerja Syahrir di Kanwil BPN Riau. Ariadi menyebut, dari rekening itu dirinya pernah diperintah Syahrir untuk melakukan setor tunai, lebih dari satu kali.

"Pernah transfer ke rekening ibu (istri Syahril Eva Rusnati) di BCA antara Rp20 -Rp30 juta. Setelah setor tunai dilaporkan, langsung ketemu atau melalui WA. Setelah ditransfer bukti dihapus," jelas Ariadi yang menyebut setoran dilakukan pada 16 Maret 2021.

Ariadi juga pernah melakukan penarikan tunai sebesar Rp35 juta sampai Rp63 juta. Setelah uang diambil langsung diserahkan ke Syahril.

Ariadi menambahkan, kartu ATM dipegang oleh Syahrir. "Pada tanggal 7 sampai 9 Mei ada penarikan ATM, tapi saya tidak pernah melakukannya," ucap Ariadi.

Adanya pembuatan rekening itu diakui oleh Yolanda Bita, pegawai BNI Sudirman. Menurutnya fotocopy persyaratan dari saksi dibawa ke BNI. "Tiga hari kemudian baru datang lagi ke BPN bawa buku dan rekening dan form pembukaan rekening," ungkap dia.

Sebelumnya, JPU dalam dakwaannya menyebut Syahrir diduga menerima gratifikasi dari perusahaan-perusahaan maupun pejabat yang menjadi bawahannya. Tidak hanya itu, KPK menjerat Syahrir dengan TPPU karena uang itu dialihkannya dengan membeli sejumlah aset.

Tidak tanggung-tanggung, selama menjabat menjabat Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Riau sejak Tahun 2017-2022, Syahrir telah menerima uang gratifikasi, yang keseluruhannya berjumlah Rp20.974.425.400.

Rincian gratifikasi yang diterima Syahrir, sebesar Rp5.785.680.400, saat menjabat sebagai Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Rp15.188.745.000 saat menjabat sebagai Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau.

Di Provinsi Riau, M Syahrir menerima uang untuk pengurusan hal atas tamah di Kanwil BPN Riau dari perusahaan seperti PT Permata Hijau, PT Adimulia Agrolestari, PT Ekadura Indonesia, PT Safari Riau, PTPN V, PT Surya Palma Sejahtera, PT Sekar Bumi Alam Lestari, PT Sumber Jaya Indahnusa Coy, PT Meridan Sejati Surya Plantation.

M Syahrir juga menerima uang dari ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Riau, untuk pengurusan izin HGU perusahaan, pengurusan tanah dan pihak lainnya yang memiliki hubungan kerja dengan Kanwil BPN Provinsi Riau. Diantaranya, dari Risna Virgianto yang menjabat sebagai Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kuantan Singingi tahun 2019 sampai tahun 2021 sebesar Rp15 juta.

Kemudian dari Satimin terkait pengurusan tanah terlantar/permohonan HGU PT Peputra Supra Jaya pada tahun 2020 sebesar Rp20 juta. Jusman Bahudin terkait pengurusan pendaftaran HGU PT Sekarbumi Alam Lestari sebesar Rp80 juta.

Lalu dari Ahmad Fahmy Halim terkait pengurusan perpanjangan HGU PT Eka Dura Indonesia sebesar Rp1 miliar. Siska Indriyani selaku Notaris/PPAT di Kabupaten Kampar sebesar Rp30 juta.

Dari Indra Gunawan terkait pengurusan HGU PT Safari Riau/PT ADEI Plantation & Industry sebesar Rp10 juta. Suhartono terkait pengurusan perpanjangan HGU First Resource Group (antara lain PT Riau Agung Karya Abadi, PT Perdana Inti Sawit Perkasa, PT Surya Intisari Raya, PT Meridan Sejati Surya Plantation) sebesar Rp15 juta dan menerima uang terkait jabatannya Rp15.188.745.000.

Uang miliaran itu kemudian dialihkannya ke rekening lain dan digunakan untuk membeli sejumlah aset. Diantaranya, sejumlah bidang tanah, rumah toko (Ruko), kendaraan dan lainnya.

JPU menjerat M Syahrir dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b jo. Pasal 18 UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 UU Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

 

 

Sumber: cakaplah.com