Bupati Bengkalis yang Tak Anti Kritik

Rabu, 24 April 2024

PENULIS : SUKARDI, SH.

Bupati Bengkalis Dr. H. Syamsurizal, SE, MM barangkali, sosok yang hari ini masih melekat dihati masyarakat Kabupaten Bengkalis. Kini, ia dipercaya masyarakat Riau menduduki kursi legislatif  DPR-RI Komisi II dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Ketika menjabat sebagai Bupati Bengkalis untuk kedua kalinya di Tahun 2005 sampai 2010. “Pak Sam” panggilan akrabnya dimasyarakat Bengkalis ini punya kisah tersendiri, bagi saya sebagai jurnalis yang melaksanakan tugas peliputan perwakilan Pekanbaru Pos Group (PPG) di Negeri Junjungan.

Gaya kepemimpinan Dr. H. Syamsurizal semua masyarakat juga tahu. Kalau kacamata sudah turun, maka bertanda ia sedang murka. Namun, kemurkaannya itu cukup beralasan. Sebagai jurnalis, saya pernah menjadi saksi kemurkaannya itu. Tapi, ia murka bukan berarti tidak suka ataupun benci.

Sebagai kepala daerah. Syamsurizal sangat memiliki khairismatik yang luar biasa. Bulan Januari Tahun 2005 merupakan masa-masa pertama saya mendapat penugasan redaksi, untuk menjadi kepala perwakilan Pekanbaru Pos di Kabupaten Bengkalis.

Sebagai media cetak terbesar di Riau. Pekanbaru Pos mulai mengembangkan jaringannya sampai ke pelosok kabupaten/kota di Riau. Awalnya, penempatan saya itu di Kabupaten Siak. Namun dalam perjalanan, pimpinan redaksi (Pemred) saya ketika itu Herianto Marhamin memutuskan dalam rapat, untuk penempatan saya ada di Kabupaten Bengkalis.

Sehingga, penempatan itu membuat saya tidak dapat menolaknya. Namanya pimpinan, kalau menolak pasti lain ceritanya. Pasal pramuka berlaku, kira-kira begini bunyinya. Pasal 1 : Pimpinan, Bos atau atasan tak pernah salah. Pasal 2 : Kalau Pemimpin, Bos atau atasan salah segeralah kembali ke Pasal 1. Testimoni atau aturan tak tertulis yang seolah menjadi privilege (hak istimewa) bagi pemimpin. Aturan ini sebenarnya juga sering menjadi “candaan” bagi bawahan. Secara ideal, aturan ini secara tertulis tentu saja tak pernah ada.

Kita tak akan pernah menemukannya di dalam UUD 1945, di Pepres, Permen, Pergub, Perbup, Perwako, Bahkan peraturan RT/RW sekalipun. Tidak mungkin ada!Tapi secara nyata, sejak zaman Nabi Adam sampai hari ini, aturan seperti itu jamak berlaku, bahkan dalam berbagai tingkat kepemimpinan.

Keputusan penempatan di Kabupaten Bengkalis pun tak dapat saya tolak. Lagi pula di Bengkalis saya memiliki orang tua kedua setelah ibu kandung saya yang di Tahun 2018 lalu telah meninggalkan saya di Dunia ini.

Ia adalah seorang wanita, yang hari ini masih sehat, ia merupakan kakak kandung ibu saya, yang hijrah dari Pacitan, Jawa Timur ke Kabupaten Bengkalis.

Menetap  di Desa Bantan Tengah, Kecamatan Bantan. Wak Katemi namanya. Ia sudah menjadi warga Bantan Tengah puluhan tahun. Disanalah saya tingggal ketika mendapat penempatan, menjadi perwakilan Pekanbaru Pos di daerah. Hari-hari saya jalani dengan tugas wajib yakni mengirim laporan atau berita ke kantor redaksi, yang berada di Pekanbaru.

Singkat kisah. Di Bengkalis saya mendapatkan rekan se-profesi, yang berbeda tempat bekerja. Namun, perusahaan media itu pernah saya berkiprah. Afdal Aulia, seorang wartawan yang “kritis”, sama seperti saya. Usianya sangat jauh lebih tua dari saya dan saya memanggilnya abang Afdal, kini Abang Afdal sudah tiada dan telah dipanggil sang khaliq. Saya hanya bisa berdoa dan terus berdoa, kepada sahabat yang sudah tiada, semoga amal ibadahnya selama di Dunia diterima Allah SWT. Amin Yarobbalalamin.

Ia punya pergaluan yang luas. Pokoknya berbicara jurnalistik, kami sama-sama menguasai bidang ini. Ide-ide dan gagasannya dalam pemberitaan sangat luar biasa. Bahkan ia punya cita-cita, menjadi seorang pemimpin di kampung kelahirannya Sumatera Barat, Pariaman tepatnya.

Seorang rekan se-profesi lainnya yaitu Asyari Mahmud (kini almarhum) juga sama dekatnya. Pokoknya, kami bertiga ini “bagai kuku dengan isi”, setiap hari bersama-sama berdiskusi dan berbagi “berita” dan berbagi “cerita”. Sebagai wartawan yang dituakan di Bengkalis, Asyari Mahmud ini terkenal orangnya baik dan sangat cekatan.

Di eranya itu, Asyari Mahmud sangat dekat dengan Pak Sam. Dulu, saat menjalankan tugas jurnalistik, dimana ada Bupati Bengkalis Syamsurizal disana ada Bang Asyari Mahmud, yang siap mempublikasikan segala kegiatan pemerintah daerah. Maklum, beliau adalah wartawan senior yang sudah berkarya, sejak Bupati Bengkalis dipimpin M. Azaly Djohan, SH.

Selain Asyari Mahmud, ada lagi wartawati kawakan yang tak asing yaitu Ibu Evi Suryati, sebagai perwakilan Harian Riau Pos. Ibu Evi Suryati juga menjadi rekan se-profesi, sebagai wanita hebat.  Evi Suryati kini telah menikmati masa tuanya dengan nyaman.

Bisa dikatakan, ketiga rekan se-profesi diatas adalah pembimbing, sekaligus saudara bagi saya selama melaksanakan tugas jurnalistik di Bengkalis. Kemudian lagi ada, H. Zulkarnaen (Harian Metro Riau), Marzuli Ridwan (kini menjadi staf Bawaslu Bengkalis), Mas Taufik (Harian Dumai Pos), Mas Adi Sutrisno (sekarang menjabat Sekretaris Diskominfotik), duluanya Adi Sutrisno merupakan wartawan Harian Riau Mandiri dan sempat sebentar menjadi redaktur saya.

Kemudian lagi, ada sejumlah rekan lainnya seperti Aris (kameramen RTV), yang selalu menjadi pelipur lara bagi saya dan Bang Afdal Aulia, dikala lelah melaksanakan tugas jurnalistik.

Suatu ketika dalam sebuah kesempatan, saya bersama Afdal Aulia diajak meliput kegiatan Bupati Bengkalis Syamsurizal. Kala itu, Pak Sam tidak mengenal saya. Maklum, ketika itu sebagai pendatang baru, yang hanya bermodal surat tugas penempatan di Kabupaten Bengkalis.

Namun, Pak Sam kerap mengajak rekan-rekan jurnalis yang ia kenal, untuk turut serta ikut dalam sebuah kegiatan pemerintah daerah, baik di Pulau Bengkalis, hingga seluruh kecamatan ataupun desa. Ia berharap, apa yang diperbuatnya di kecamatan dan desa bisa menjadi asumsi publik, paginya bisa muncul dalam pemberitaan media cetak.

Suatu kisah. Tanpa saya ketahui. Koran Harian Pekanbaru Pos tempat saya bekerja menerbitkan, sebuah berita berjudul Bupati Bengkalis Terbitkan IPK (Izin Pengelolaan Kayu). Ketika itu, aksi ilegal loging dan penjarahan hutan secara besar-besaran menjadi berita hangat.

Saking hangatnya. Era Bupati Syamsurizal. Seorang pengusaha ternama asal Sei Pakning, Aipeng menjadi tersangka dalam kasus ilegal loging. Atas statement Wakil Gubernur Riau kala itu dijabat H. Wan Abu Bakar. Sehingga Kapolda Riau Brigjend Pol Ito Sumardi mengerahkan jajarannya menangkap Aipeng.

Sehingga persoalan Aipeng yang terjadi sekitar tahun 2005 silam itu menjadi sejarah Bengkalis. Aipeng ternyata merupakan cukong kayu di kawasan Kabupaten Siak. Memiliki kilang kayu (sawmill) tanpa izin. Sempat ditetapkan status DPO, akhirnya Aipeng dibekuk dan menjalani proses hukum.

Memulai dari situ, ternyata ada statement berita tentang penerbitan Izin Pengelolaan Kayu (IPK) oleh Bupati Bengkalis Syamsurizal. Ketika itu, Pak Syam melalui wawancara singkat, mengakui jika dirinya telah menerbitkan IPK. Tapi, IPK yang mana dia tidak menjelaskan.

Berita yang terbit di halaman depan dan menjadi berita utama tersebut, membuatnya “murka”. Saya tidak tahu siapa yang telah mewawancarainya, tapi setelah saya telusuri, redaktur saya kala itu dijabat Ridho M. Hastil berhasil mewawancarainya.

Seperti biasa. Media cetak ini memiliki perwakilan distribusi koran atau dikenal dengan loper. Hampir seluruh konter-konter, seperti toko buku, toko harian di Bengkalis, koran Harian Pekanbaru Pos menghiasi pajangan depan toko di pagi hari.

Karena terbilang baru di Bengkalis. Saya pun juga menjadi salah satu pembaca, sekaligus perwakilan Reporter, yang setiap pagi harus mengetahui isi berita-berita media cetak, tempat saya bekerja. Termasuk berita-berita yang saya kirim melalui faximili, sebab di era itu  belum ada jaringan internet.

Tiba-tiba saja, usai mandi dan mengenakan pakaian kerja, sekitar pukul 08.30 WIB, ponsel saya berdering. Seorang rekan se-profesi saya menghubungi, ia adalah Alm. Asyari Mahmud. Wartawan senior Bengkalis itu mengabari saya, jika Bupati Bengkalis sedang mencari saya.

Kabar tak sedap lagi, Alm. Asyari mengatakan, kalau Bupati “marah”akibat pemberitaan halaman depan Harian Pekanbaru Pos pagi ini. Lantas, ia sebagai wartawan yang kenal dekat dengan Pak Sam, meminta saya hadir untuk datang ke kantor Bupati Bengkalis, Jalan Ahmad Yani.

Awalnya saya berfikir, jika apa yang disampaikan itu hanya gurauan. Tapi, saya pun penasaran. Pagi itu, saya engkol sepeda motor dan langsung menuju kantor Bupati Bengkalis, megahnya kantor Bupati Bengkalis memang tiada dua ketika itu, lantai IV dan banyak ruangan kerja modren.

Sesampai di teras kantor Bupati. Seorang pria yang saya tidak kenal namanya, menginformasikan jika ada acara di lantai II Kantor Bupati Bengkalis. Kegiatannya dipimpin oleh Bupati Bengkalis Syamsurizal.

Sontak, naluri pers muncul. Sebagai reporter, saat itu saya memang memiliki karakter selalu ingin mencari tahu. Ketika hendak melangkah kaki, dipintu masuk kantor Bupati. Alm. Asyari berteriak memanggil nama dan meminta untuk menunggunya.

Lalu, berselang lima menit. Alm. Asyari menuju ke saya dan bercerita soal kemarahan Bupati Syamsurizal. Sehingga menyarankan, agar menemuinya selesai kegiatan di lantai II bersamanya.

Sekitar pukul 10.00 WIB. Kegiatan yang dipimpin Pak Syam usai. Lantas, Alm. Asyari mengajak saya untuk menemui Pak Syam dengan alasan atas perintah Pak Syam. Saran itu awalnya saya tolak. Tapi, Alm. Asyari memaksa.

Paksaan itu seakan tak bisa saya tolak. Sebab, Alm. Asyari merupakan wartawan senior Bengkalis dan saat baru tiba di Bengkalis, ialah wartawan yang saya kenal dekat setelah Afdal Aulia.

Tanpa banyak cerita lagi. Alm. Asyari membawa saya ke lantai II Kantor Bupati Bengkalis. Amarah itu memang nyata. Baru saja saya memijakkan kaki dan masuk ruangan, belum sempat duduk, tiba-tiba Bupati Syamsurizal “marah”, sembari memperlihatkan koran yang memuat berita tentang dirinya.

Tatapan matanya yang tajam dengan kacamatanya yang turun, tertuju ke saya. Ia tak terima atas pemberitaan berjudul Bupati Bengkalis Akui Terbitkan IPK. Saya pun kala itu bingung mau berkata apa, yang ada dalam hati saya harus mendengarkan dulu apa yang menjadi puncak kemarahannya.

Hampir kurang lebih 30 menit saya berdiri dan mendengarkan segala bentuk kemarahannya. Lalu, seorang pria dengan pakaian parlente, berbicara. Saya tidak kenal. Tapi, seakan-akan ia mengenal saya.

Ia menyapa dan memotong pembicaraan Pak Syam. Sambil menjelaskan, jika berita itu sudah menjadi tugas wartawan, sebagai seorang jurnalis. Ia pun mempersilahkan saya duduk di kursi, sambil memperkenalkan namanya kepada saya.

Pria itu adalah Bukhari, SE. Belakangan saya tahu Bukhari merupakan Direktur BUMD PT. Bumi Laksamana Jaya (BLJ). Saat itu, Bukhari menjadi “anak emas” nya Bupati Syamsurizal.

Mendapat perlakuan itu, saya pun lantas duduk di kursi, lalu memperkenalkan diri dan menjelaskan soal pemberitaan yang terbit di media. Saya menjawab, setelah memperkenalkan diri dan mengucapkan salam pembuka, untuk mengawali pembicaraan.

Saya  menyampaikan jika berita itu, benar ditulis dan diwawancarai oleh wartawan. Namun, hendaknya harus tahu lebih dulu siapa pemilik media dan pimpinan redaksinya. Sebagai seorang yang bertanggungjawab, saya menyampaikan prinsip dasar pemberitaan yaitu 5 W + 1 H.

Padahal wawancara itu sebenarnya tanpa disadarinya. Terjadi di Pekanbaru. Sementara saya waktu itu mendapat penugasan di Bengkalis. Yang lebih herannya lagi, Pak Syam tidak mengenal siapa yang telah mewawancarainya, sehingga menjadi produk berita yang terbit, kebetulan di media tempat saya bekerja yaitu Pekanbaru Pos.

Selama kurang lebih 10 menit saya menjelaskan, prinsip dasar pemberitaan. Apa yang saya sampaikan diterima oleh Bukhari, SE. Begipula Pak Syam, serta sejumlah kepala dinas yang ada diruangan tersebut. Saya lupa siapa-siapa saja namanya, karena belum mengenal mereka saat itu.

Usai mendengarkan keterangan saya. Pak Syam langsung pergi meninggalkan ruangan. Tanpa banyak tanya dan cerita. Pokoknya pagi itu yang saya lihat hanyalah “kemarahan” dari seorang pemimpin negeri.

Tak satupun kepala dinas (Kadis), yang berbicara kala itu. Yang hanya saya dengar hanya penyampaian pria parlente, yang merupakan Direktur BUMD PT. BLJ dieranya. Melihat kondisi itu, saya pun putuskan meninggalkan ruangan, sedangkan Alm. Asyari juga saya tinggalkan, setelah Pak Syam meninggalkan ruangan.

Setelah meninggalkan ruangan. Saya lantas menuju ke kedai kopi ternama di Bengkalis, memesan dua bungkus lontong. Kemudian menuju kediaman Bang Afdal Aulia, yang rumahnya berada di belakang Wisma Rissa.

Rumah kontrakan itu ditempatinya sendiri. Sampai dikontrakan itu, saya pun langsung duduk dan menyantap sarapan yang saya beli. Satu bungkusnya lagi, saya berikan ke Bang Afdal. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut saya, saya pun hanya menggerutu dalam hati.

Bang Afdal sempat bertanya. Apa berita menarik hari ini. Saya menjawab ringan, jika berita hari masih dalam proyeksi. Sebagai seorang reporter daerah, saya selalu berbagi berita dengan Bang Afdal. Berbagi berita itu, hal biasa bagi seorang jurnalis di daerah.

Lalu, siang itu sekitar pukul 12.00 WIB, selepas menyatap sarapan Lontong yang saya beli, saya lantas menuju Masjid Istiqomah untuk bersiap-siap menunaikan solat Dzuhur. Hati ini terasa plong dan fresh usai menghadap sang pencipta alam semesta.

Kemudian, sempat berpikir apa yang salah pada diri saya. Tak lama saya pun langsung pulang dipenginapan tempat saya dan Alm. Bang Afdal menetap. Jelang matahari terbenam dan berganti malam, pukul 17.00 WIB, kami berdua biasanya sudah selesai dengan bahan berita untuk dikirim ke redaksi media.

Mengirim berita saat itu tidak secanggih seperti sekarang. Cukup buka Laptop atau Android bisa langsung mengirimkan laporan. Untuk mengirim berita dulu, kami harus mencari faximili untuk proses pengiriman bahan berita, yang sudah diketik melalui kertas HVS.

Langganan pengiriman berita di Hotel Panorama, Jalan Ahmad Yani-Bengkalis. Sampai-sampai kami berdua akrab dengan pemilik Hotel, Bang Jefri Tumangkeng dan Viktor Tumangkeng, sebab setiap hari ketemu di tempat biasa mengirim bahan berita.

Begitu juga karyawan dan karyawatinya. Juga hampir setiap hari bercanda gurau, sambil menunggu giliran pengiriman bahan berita. Setelah bahan terkirim baru kami bisa santai sejenak sambil menunggu adzan Magrib berkumandang, tanda waktunya Sholat Magrib.

Jelang sehari, setelah kemarahan Bupati Bengkalis Drs. H. Syamsurizal, tepatnya sore hari. Ponsel saya berdering. Nomor tak dikenal masuk ke ponsel lawas, yang hanya ada tombol layarnya. Pokoknya teknologi ponsel saat itu, masih sekitaran merk Nokia. Belum ada Laptop, Android, Gatget atau pun ponsel super canggih lainnya.

Hari itu belum sempat mengirim bahan berita. Pria dibalik ponsel yang menghubungi saya meminta agar, malam nanti bersiap-siap menuju ke Rumah Bupati Bengkalis, Rumah itu saat ini bernama Wisma Daerah Sri Mahkota. Rumah megah tersebut, dulunya menjadi rumah dinas Bupati Bengkalis Drs. H. Syamsurizal, MM.

Pria dibalik ponsel itu mengatakan, jika ini merupakan perintah dari Bupati Bengkalis. Ia pun mengenalkan diri, sebagai supir pribadi Bupati Bengkalis. Sontak saja saya terkejut. Tentu hal ini saya sikapi dengan tenang dan luwes. Saya terpikir Bupati Syamsurizal akan memarahi saya untuk kedua kali, setelah dikantor Bupati Bengkalis.

Undangan untuk menuju ke Wisma Daerah Sri Mahkota itu saya sambut baik. Malamnya saya datang dengan menggunakan sepeda motor legendaris yang saya miliki. Motor buatan China, yang hari ini hilang dari pasaran. Tidak perlu saya sebutkan merk-nya, pasti pemirsa sudah bisa menebaknya sendiri.

Sesampainya di Wisma Daerah Sri Mahkota, salah seorang pria yang tidak saya kenal, ternyata telah menyambut kedatangan saya. Ia pun lantas menggiring saya menuju Bupati Bengkalis. Alangkah kagetnya, ketika itu saya melihat Bupati Syamsurizal sudah menantikan saya duduk di halaman teras bagian samping.

Ia pun tanpa basa-basi menyalami dan mempersilahkan duduk disalah satu meja makan, yang sudah tersedia hidangan malam malam. Ia bercerita panjang lebar mengenai kondisi Kabupaten Bengkalis. Tak semua pembicaraan saya kupas tuntas di tulisan ini. Namun, ini adalah fakta bahwa seorang Bupati Bengkalis adalah seorang pemimpin yang bijaksana dan ramah kepada siapa saja. Walaupun sempat murka. Akibat pemberitaan yang menyudutkan tentang dirinya, melalui sebuah fakta.

Ini pertama kali, saya pernah mengalami hal ini. Ia pun sempat membahas soal pemberitaan mengenai dirinya dan meminta maaf kepada saya. Bahkan, Bupati Syamsurizal sampai hari ini masih baik kepada saya. Dia menjadi motivasi saya, ternyata seorang Bupati tak anti kritik masih ada di Bengkalis.

Bahkan ia pun sempat meminta saya, untuk mengawasi dan mengontrol seluruh kegiatan-kegiatan staf dan pejabatnya yang menyimpang dalam penggunaan anggaran. Tapi, tidak serta merta harus menjustifikasi secara langsung, akan tetapi tetap melalui jalur penyelesaian dan pembinaan, yang baik tanpa harus melukai.

“Tajam jangan melukai,”pesan dari Bupati Bengkalis H. Syamsurizal itu menjadi pedoman saya selama menjalani tugas jurnalistik. Pesan menjadi ilmu pengetahun berharga bagi saya, selama bertugas di kabupaten berjuluk Negeri Sri Junjungan.

Usai makan siang dan mendengar cerita seputar Kabupaten Bengkalis, Kabupaten yang ia pimpin dengan APBD terbesar nomor 2 setelah Kutai Kartanegara, membuat saya memahami sedikit banyak mengenai Kabupaten Bengkalis, hingga saat ini.

Jadi, melalui tulisan ini saya bisa menarik kesimpulan. Bahwa, tugas-tugas jurnalistik itu menulis dan menulis. Tapi, tulisan itu harus bisa menuju solusi yang lebih baik. Win-win solusion sangat diperlukan. Tidak mesti sengketa pemberitaan harus berujung ke ranah hukum. Hak Koreksi, Hak Jawab dan Hak Tolak menjadi harga mati dari sengketa pers.

Itu sepenggal tulisan dari penulis. Semoga menjadi manfaat bagi sahabat-sahabat pers khususnya di tanah Melayu Kabupaten Bengkalis dan Provinsi Riau pada umumnya.

Pers Hebat, Pers Cinta Damai....Salam Pers. Salam Anti Hoax!