Kartu Pers Ditahan dan Ditantang Berduel dengan Wakil Ketua PN

Sabtu, 27 April 2024

PENULIS : SUKARDI, SH.

SEBELUM menggoreskan tinta hitam dikertas ini. Maka saya perlu lebih dulu bertanya. Apa yang ada dalam benak, sahabat pena jika berada di posisi sebagai seorang jurnalis. Jawabannya, simpan dihati. Sebab, yang bertanya akan memberikan jawabannya dalam kisah ini.

Semoga pihak yang ada dalam tulisan ini bisa memaafkan dan saya pun sudah ikhlas memaafkannya dunia akhirat. Sebab, Tuhan Yang Maha Esa (TYME) saja maha pemaaf bagi semua umatnya. Apalagi penulis yang hanya manusia biasa.

Hari ini, untuk menjadi seorang pers atau wartawan itu sangat gampang dan mudah sekali. Cukup melalui website dan dibekali kartu pers. Seseorang bisa menjadi wartawan. Tapi, untuk sebagai jurnalis penulis belum tentu bisa. Disinilah peran dari dewan pers dan pemerintah setempat untuk melakukan pembinaan terhadap pers itu sendiri.

Sekedar berbagi ilmu pengetahuan. Di awal tulisan ini, penulis mengupas mental seorang wartawan. Bukan berarti mental sebagai patokan, tapi untuk menjadi seorang jurnalis penulis, mental paling utama. Kalau sudah mental tempe, maka apapun yang ditugasi dan ditulis seorang jurnalis tak akan berarti apa-apa.

Singkat kisah. Kala itu, Rabu 23 Maret 2016 silam, sekitar pukul 17.00 WIB. Saya melakukan tugas peliputan di Pengadilan Negeri (PN) Bengkalis Kelas II yang saat ini sudah bertipe kelas IIA.

Sebagai seorang jurnalis, pastinya sebelum memasuki Pengadilan Negeri (PN) Bengkalis harus minta izin terlebih dahulu kepada petugas atau Humas di Pengadilan Negeri tersebut.

Seperti biasanya. Saya minta izin untuk melakukan peliputan dan tugas jurnalistik sesuai dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Tapi, hari itu justru tak terlihat petugas jaganya ataupun humas setempat.

Sehingga saya memutuskan untuk menghampiri salah satu ruang sidang dan duduk berada dibarisan belakang. Kala itu, saya bekerja di salah satu media harian terbesar di Kabupaten Bengkalis, yaitu Harian Posmetro Mandau. Melihat sidang perkara pembunuhan dengan empat terdakwa di Kecamatan Pinggir, sontak naluri jurnalis saya pun muncul dan ingin tahu, bagaimana dakwaan kasus pembunuhan tersebut.

Seketika hakim membuka sidang, saya pun lantas berdiri dan mengambil gambar melalui ponsel Android secara silent. Tanpa pencahayaan dan tetap duduk di barisan pengunjung sidang. Sontak saja, usai saya mengambil gambar, salah seorang majelis hakim langsung marah dan mengeluarkan suara keras.

Majelis hakim itu pun langsung menskor pelaksanaan sidang, yang didahului meminta persetujuan advokat atau pengacara dalam ruang sidang tersebut. Kemudian, setelah itu memarahi dengan nada kasar, sampai-sampai memerintahkan agar kartu pers ditahan.

Mendapat perlakuan itu, saya pun lantas segera meminta maaf atas ketidaksengajaan yang terjadi. Lagi-lagi, upaya minta maaf itu tidak digubris dan justru sebaliknya, menghakimi saya selayakanya seorang terdakwa dan lantas menahan kartu pers dan mengusir saya dari ruang sidang.

Karena merasa bersalah, saya pun akhirnya keluar dengan sopan dari ruang sidang. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, sebelum saya keluar dari ruang sidang, saya minta kartu pers dikembalikan. Tetap saja, permintaan itu tidak dilayani.

Seketika itu pula, saya langsung ke luar dari ruang sidang dan menunggu di ruang tunggu yang sudah disediakan di PN Bengkalis tersebut. Bahkan soal kartu pers itu telah saya sampaikan kepada Humas PN Bengkalis. Sebab, kartu pers itu tidak ada gunanya untuk ditahan berlama-lama.

Namun, pihak Humas PN Bengkalis ketika itu dijabat Wimmi D Simarmata, SH, MH menyarankan agar mengambilnya esok hari, sampai majelis hakim bisa mengembalikan. Saran itu pun langsung saya terima, tapi masalah ini sudah sampai ke meja redaksi harian Posmetro Mandau.

Beberapa kali pimpinan media saya bekerja menghubungi dan bertanya soal apakah kartu pers yang ditahan sudah dikembalikan. Saya pun memberi jawaban tenang dan formal. Jawabannya : Belum, barangkali besok pagi akan dikembalikan.

Jarum jam terus berputar, sampai keesokan harinya, Kamis 24 Maret 2016, pukul 08.00 WIB. Kartu pers yang memuat identitas saya pun tak kunjung dipulangkan.  Hari itu, saya tanpa identitas atau kartu pers. Tapi, tetap masih berharap, jika kartu pers itu pulang dengan kondisi utuh.

Namun, sejumlah rekan-rekan se profesi ketika itu menyarankan saya berkonsultasi dengan Polres Bengkalis. Agar, kartu pers dikembalikan oleh sang hakim. Ada pula rekan yang menyarankan agar hal ini dibawa ke ranah organisasi.

Sebagai seorang jurnalis, saya pun lantas mempertimbangkan segala sesuatunya. Semua masukan dari rekan se-profesi saya terima, ditengah berita yang pagi itu isinya soal “perampasan kartu pers”. Namun, tetap saja kartu pers saya tak kunjung kembali.

Sehingga atas nama solidaritas, belasan wartawan dari berbagai media massa wilayah tugas Bengkalis bersama saya, mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Bengkalis, siang harinya.

Kehadiran kami saat itu, berniat ingin mempertanyakan masalah perampasan kartu pers yang dilakukan oleh salah seorang hakim. Namun, hakim yang bersangkutan dengan jabatan Wakil Ketua PN Bengkalis, justru tidak puas dan kembali murka,  melihat kerumunan wartawan di PN Bengkalis.

Tak puas disitu, oknum hakim itu pun turun dan langsung menghampiri saya, serta mengeluarkan nada ancaman, sembali mengajak duel.  Merasa kembali di lecehkan, awak media yang semulanya berniat baik mendatangi PN Bengkalis menyelesaikan masalah berubah.

"Jangan seperti itu pak, bapak Hakim, baik- baiklah ngomong,"ujar salah seorang awak media.

Mendengar ucapan itu, oknum itu pun lantas menantang satu persatu awak media, hingga suasana mengundang keributan. Sampai-sampai Ketua PN Bengkalis, saat itu dijabat Rustiyono, SH, MH ikut turut mengamankan situasi.

Ketua PN Bengkalis Rustiyono langsung merangkul dan mengajak seluruh wartawan yang hadir untuk masuk ke salah satu ruang sidang, sambil melontarkan kata permintaan maaf kepada rekan-rekan wartawan.

"Saya minta maaf, minta maaf betul sama kawan-kawan. Saya taruhkan jabatan saya. Saya minta maaf,"harap Ketua PN Bengkalis Rustiyono, saat itu dihadapan seluruh wartawan yang hadir.

Permintaan maaf dari Ketua PN Bengkalis pun langsung diterima, sebab masalah itu bukan pak Rustiyono yang memulai, tapi salah seorang pejabatnya. Dengan penuh ikhlas, saya dan rekan-rekan pers hari itu langsung memaafkan, permintaan maaf dari Ketua PN Bengkalis dan hari itu juga kartu pers saya diserahkan dengan kondisi utuh, tanpa cacat sedikitpun.

Dari kisah perjalanan pers ini, saya mengambil hikmahnya. Jika pers itu juga cinta damai, ingin banyak teman dan sahabat. Bukan mencari lawan! Kemudian, seorang pers harus siap untuk menerima ocehan, murka dari seseorang ataupun protes dari pihak yang merasa keberatan diberitakan.

Mental seorang pers harus-harus benar mampu menguasai hati dan intelektual. Tidak mudah marah, tidak perlu arogan. Pers yang baik adalah pers yang cinta dengan profesinya dan berakhlak baik serta menjaga prilakunya.

Setelah mengikuti perkembangan informasi dari kisah ini. Ternyata jiwa besar itu ada pada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bengkalis Rustiyono, SH, MH. Dia menjaga bagaimana lingkungan kehakiman yang dipimpinnya, bisa baik dimata masyarakat dan publik.

Sedangkan hakim yang berusaha mengkerdilkan pers atau wartawan, sejak peristiwa itu langsung mendapat amanah atau penugasan baru di wilayah tugas lainnya.

Semoga yang bersangkutan tetap diberi kesehatan dan sukses karir, sebab hingga usainya problematika pers ini, saya dan rekan-rekan se-profesi tak pernah berjabat tangan, tapi ini sudah menjadi suratan takdir, jika kami ikhlas memaafkan. Pers Hebat, Pers Cinta Damai!!!