Kanal

“Kamar Mayat Rumah Sakit Jadi Sumber Berita”

KORAN Harian Pekanbaru Pos, menyajikan berita berdarah-darah disanalah mengawali profesi wartawan. Walau hanya sebatas magang, tapi disanalah segala keilmuan tentang profesi ini didapat. Jika ingin menjadi Reporter, yang handal dan bisa bekerja di media cetak terbesar di Riau, maka menulislah di koran merah.

Sumber beritanya di kamar mayat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pekanbaru, yang hari ini bernama RSUD Arifin Ahmad. Untuk menjadi Reporter baru, disanalah ditempa. Sebab, pimpinan redaksi (Pemred) mengajarkan, agar mencari berita di kamar mayat itu.

Mengapa demikian? Pertanyaan itu muncul dibenak ketika itu. Bambang Irawan, Dara Fitria, Hasben, Edwar Pasaribu yang hari itu menjadi teman mencari berita dengan latar belakang ingin menjadi wartawan kriminal. Ternyata di kamar mayat itulah sumber segala berita peristiwa, mulai dari Pembunuhan, Perampokan, Penemuan Mayat hingga meninggal karena kecelakaan di jalan raya. Otopsi mayat ada disana, siapa yang pernah magang di perusahaan pers, maka tak asing bagi mereka dengan penjaga kamar mayat. Namanya, Bang Edy.

Pria berkumis tebal itu, akrab dengan kalangan pers di Pekanbaru. Staf kamar mayat RSUD Arifin Ahmad itu, merupakan sumber informasi kalayak pers, yang melaksanakan pekerjaan jurnalistik. Terkadang di kamar mayat itu, Bang Edy berbagi cerita, jika hari itu sumber berita kosong alias tidak ada mayat atau jenazah, korban kejahatan atau lainnya.

Jika ada pekerjaannya untuk mengurusi jenazah, maka reporter magang harus mendekatinya demi mengumpulkan segala informasi, atas penyebab kematian jenazah tersebut. Ya, terkadang Bang Edy ini, suka bergurau. Peristiwa tak ada, dia mengabarkan ada. Sehingga, repoter seperti kami ini kala itu berlomba-lomba mendekatinya.

Adakalanya, ia ternyata minta ditemani untuk ngobrol bicara tentang dirinya dan kisahnya di waktu ia mengalami waktu-waktu membosankan. Ia sengaja berbohong, untuk bisa ditemani. Namun, sebaliknya jika ada peristiwa yang bisa menjadi bahan berita, ia langsung menghubungi melalui via ponsel atau pesan singkat Short Message Sistem (SMS).

Pokoknya, Bang Edy merupakan mitra kerja reporter yang ditugaskan meliput pemberitaan peristiwa-peristiwa besar di Kota Pekanbaru. Sekaligus, saya menyebutnya Bang Edy adalah informan paling baik sejagat, ia tahu pekerjaan pers itu apa. Ia tahu pers itu butuh peristiwa dan berita. Ia tahu, reporter seperti kami itu haus informasi.

Lebih tahu lagi, kalau reporter itu mendapatkan penghasilan dari jumlah pemberitaan. Ketika sudah jadi repoter, kalau magang pun, Bang Edy tahu. Pokoknya serba tahu, apa yang pernah dialami reporter dan jurnalis magang. Semoga beliau tetap diberikan kemurahan rejeki dan kesehatan serta kemuliaan dari Tuhan.

Rokok sebungkus berdua. Pernah ia nikmati. Pulsanya habis pernah juga, patungan kami mengisinya. Pokoknya, ia tertawa kami pun senang. Apalagi melihat lelucon, pembimbing jurnalistik, Bang Kornel Panggabean, yang kini menjabat sebagai Wakil Pimpinan Redaksi (Wapimred) di Koran Metro Express (MX), koran merah.

Mereka sama-sama lahir dari darah batak. Tapi, mereka adalah pembimbing sekaligus pemandu di bidang jurnalistik, waktu Pekanbaru Pos menjadi koran merah. Selama magang, Bang Kornel ini paling aktif dan paling mau berbagi hasil (penghasilannya di wartawan,red).

Kini, ia sukses hampir sama suksesnya dengan Bang Edy. Dan kamar mayat RSUD Pekanbaru itu, juga pernah menjadi sumber informasinya. Tak hanya kamar mayat, Bang Kornel juga terkenal dengan berita-berita fantastisnya seputar RSUD Arifin Ahmad dan paling dikenal oleh pimpinan tertinggi RSUD itu.

“Apa kerjamu. Lama-lama di kamar mayat itu. Kalau tak dapat berita. Tak usah kau jadi wartawan. Cengeng! Bah, kau tulis apa yang kau lihat disana,”gerutu Bang Kornel, khas dengan logat medannya.

Terdakang, ucapan-ucapan itu teringat dan menjadi motivasi sekaligus guru paling berharga. Profesi wartawan, sudah mendarah daging pada dirinya. Kalau tak dapat berita, jangan harap pulang dengan embel-embel sebagai reporter magang. Siap-siap untuk mendapat ceramahnya, selama 5 menit.

Terkadang, akibat sentilannya, membuat reporter magang seperti kami harus mengarang berita. Ups, tapi jika ketahuan. Siap-siap mendapat ceramah, kurang lebih 30 menit. Tak jarang seperti Andre Syahbani, reporter magang yang sama seperti kami juga mengalaminya. Hanya saja, Andre Syahbani bisa mementahkan ceramah Bang Kornel dengan cara berlalu, tanpa harus bertatap muka setiap masuk ruang redaksi.

Jangankan sekelas Bang Kornel. Sekelas pimpinan perusahaan (Pimprus) Bapak H. Amril Noor, ia pun berani menghadapi ceramahannya dengan kesalahan menggunakan sendal jepit ke ruang redaksi.

Pantangan yang bisa membuat H. Amril Noor murka adalah wartawan masuk kantor menggunakan sendal jepit. Tak segan-segan jika berpapasan di ruang redaksi, H. Amril Noor akan mengusir dan menceramahi serta menyarankan menggunakan sepatu, saat masuk kantor.

Tapi itulah, H. Amril Noor terkenal dengan disiplin. Untuk cerita ini, hanya sepenggal yang bisa saya ceritakan. Sisanya biarlah Andre Syahbani, yang meluapkan, toh saat ini menjadi wartawan sekaligus pemimpin disalah satu media anak perusahaan Pekanbaru Pos, cetak biru sekarang yakni Posmetro Inhil.

Mental wartawan itu sudah melekat pada Andre Syahbani dan repoter-reporter magang seperti kami dahulunya. Dulu, selama magang menjadi repoter itu tidak digaji. Tapi, setelah diterima menjadi reporter kontrak disalah satu perusahaan media, maka baru bisa menikmati uang minyak sepeda motor dengan perhitungan, perberita terbit dihargai.

Sebelum diterima diperusahaan besar Riau Pos Media Group (Pekanbaru Pos). Disana harus menjalani proses, seperti magang atau calon reporter. Setelah lulus magang, baru direkrut sebagai reporter kontrak.

Maka, untuk mendapatkan uang minyak, makan dan minum selama menjadi reporter kontrak. Harus giat dan mengejar informasi atau peristiwa di kamar mayat RSUD Arifin Ahmad. Memang perberita penghasilan yang didapat, cukup membuat kami puas, karena disana ditempa untuk menjadi penulis hebat.

Sebagai reporter magang atau pun reporter kontrak. Penghasilan itu tidak berarti bagi kami. Tapi, lebih berarti lagi, setiap pagi kami melihat dan membaca berita hasil tulisan kami terbit dan dibaca banyak orang. Sungguh sangat berbangga, ketika berita terbit dan dibaca paginya.

Terkadang, berita-berita terbit itu. Dipamerkan kepada sanak saudara dan rekan dekat. Berlomba-lomba, bagaimana berita yang disajikan dari hasil wawancara, mengumpulkan informasi dan ditulis menjadi berita yang dibaca setiap hari.

“Bangganya, kalau berita naik itu. Berita dihalaman depan (headline news) dan berita utama. Kalau sudah jadi berita utama. Maka, berita itu yang menjadi topik pembicaraan pembaca,”gumam Bambang Irawan, yang merupakan rekan seperjuangan selama magang dan menjadi reporter kontrak kala itu.

“Time is Money, Bad News is Good News! (Waktu dan Peristiwa adalah uang)! Setiap hari harus ingat ini. Setiap hari berusaha menjadi wartawan dengan berita terbaik. Waktu adalah uang itu jelas, sebab, setiap berita dihargai ketika menjadi reporter magang dan kontrak. Sebulan dapat saja, 10 berita terbit, itu sudah luar biasa senangnya. Apalagi 30 berita selama satu bulan.

Terkadang, jika ingin mendapat hasil lebih. Maka, abang-abang wartawan senior Televisi ternama di Indonesia menjadi mitra kerja. Setiap, peristiwa besar selalu menginformasikan kepada mereka, maka abang-abang itu menghadiahi pulsa dan makan siang gratis.

Nah, terkadang disana letak kelemahan reporter kontrak dan magang. Tapi, itulah namanya hidup. Sampai-sampai salah seorang rekan reporter lainnya, berkata. “Jika, ingin banyak berita peristiwa, setiap hari berdoa agar banyak kejadian atau peristiwa,”gumamnya dengan canda.

Disanalah kami ditempa. Diberi kayakinan agar bisa menulis, membuat berita untuk disajikan kepada masyarakat pembaca. Barangkali, sepenggal pengalaman ini yang menjadikan seseorang besar akan karyanya. Besar akan tulisannya. Semoga hari ini, semua pers hebat, semua pers cinta damai dan pers bermartabat, untuk keutuhan bangsa dan negara.

Dihadapkan dengan Era Digitalisasi. Berkemungkinan, bicaranya harus berita laku jual. Media online menggerusnya, kehadiran media cetak pun tertinggal. Tapi, itulah tantangan yang harus dihadapi kedepan. Era berita  negatif, makin senter sejak era digitalisasi. Semua bisa mengakses tanpa betas. Dunia tanpa batas itulah Era Digitalisasi.

Berbeda versi apa yang pernah terbaca disalah satu buku berjudul Jalan Tikus Menuju Kekuasaan. Karya penulis tenar, Joko Santoso HP, yang juga anggota DPR-RI Komisi X dieranya. Ia menceritakan seni tampil di media. Berkisah, kemampuan media dalam melakukan investigasi, selera publik yang tinggi terhadap berita-berita negatif.

Ternyata berita negatif, digandrungi pembaca. Siapa yang membaca, ia akan senang dan ketagihan. Ia bertanya. Apa perasaaan anda ketika membaca berita terbongkarnya kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang petinggi atau pejabat. Ada rasa bahagia menyeruak dalam dada tatkala membacanya. Batin kita kira-kira berteriak. Tuh, benarkan?

Publik yang cenderung paranoid, dipuaskan oleh berita-berita negatif. Dalam alur cerita itu, Joko Santoso HP, mengupas berita-berita negatif yang ditunggu pembaca surat kabar atau media.

“Seperti apa berita yang disebut positif itu? Benarkah ia kurang laku jual? Sebenarnya tidak juga. Tidak ada satu produk pun di dunia ini yang disukai seluruh orang. Pasar konsumen sesungguhnya, terbagi-bagi dalam segmen, yang masing-masingnya memiliki kebutuhan berbeda”,tulisnya di buku berjudul Jalan Tikus Menuju Kekuasaan.

Jika ada yang gemar berita buruk, pasti ada pula yang gemar berita baik. Apa itu, seperti lowongan pekerjaan. Ini pernah dilakukan seorang Joko Santoso, dengan memberanikan diri menerbitkan tabloid Peluang, di Tahun 1998. Tabloid itu tampil dengan segmen berita-berita positif, ditengah belantara media yang menampilkan berita negatif, bahkan sampai oplahnya mencapai 120.000 eksamplar, ia memberanikan diri mengharamkan berita negatif, selama enam bulan Tabloid itu bertengger dengan jumlah pembaca terbanyak.

Sebaliknya pula, Joko Santoso HP menuliskan, ia tak akan pernah tahu kapan “era berita negatif” ini berakhir.

“Saya yakni ini hanyalah persoalan kecenderungan. Dengan kata lain, pada saatnya sebuah kecenderungan pasti akan berganti ke arah kecenderungan yang lain. Bisa jadi, kelak kecenderungan pembaca akan beralih menyukai berita-berita lucu lantaran jenuh dengan berita-berita negatif maupun positif.

Dari sekelumit, cerita Joko Santoso HP ini, ternyata berita-berita peristiwa ataupun berita negatif masih disukai pembaca. Walaupun berangsur-angsur mulai redup, tapi tetap saja apapun beritanya masih ditunggu pembaca. Selagi berita itu, tidak melanggar UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan memenuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ), tetap saja menjadi informasi yang ditunggu pembaca.

Jadilah Pembaca Cerdas!

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER