Kanal

Dualisme Alumni Cendana Football Club Pasca Petisi Online

Pada awalnya bahkan sampai sekarang pun Alumni Cendana Football Club (ACFC) dibentuk sebagai perkumpulan tempat ajang silaturahmi dan wadah (tempat berkumpul) bagi Alumni Cendana lintas angkatan (tahun tamat SMA) dan lintas distrik (Dumai, Duri, Minas, Rumbai) yang hobi bermain sepakbola atau pemain sepakbola pada masa lalu. Jenis perkumpulannya adalah fun football. Bukan professional, bukan pula amatir, jika kita mendefinisikan amatir adalah jenjang menuju professional. Cendana adalah nama yayasan pendidikan yang berada dibawah PT Caltex Pacific Indonesia (PT. CPI) kemudian berganti nama menjadi PT. Chevron Pacific Indonesia yang diperuntukkan untuk tempat sekolah anak-anak pegawai PT. CPI mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA). Alumni adalah anak-anak yang menamatkan atau pernah bersekolah di yayasan pendidikan cendana. Pada awal terbentuknya, ACFC dibentuk untuk mengikuti turnamen yang digagas oleh kawan-kawan aktivis sepakbola pekanbaru dari 99sportmanagement yang menamakan turnamen tersebut  99 Alumni Super League (99 ASL). Jadi penyelenggara acara adalah 99sportmanagement, dan acaranya bernama 99 ASL.

Penyelenggara acara menerbitkan regulasi bagi peserta yang ingin ikut serta mendaftar. Para peserta adalah tim-tim alumni Sekolah Menengah Atas (SMA) sekota Pekanbaru. Setelah diseleksi oleh Penyelenggara Acara maka ada 4 tim yang dapat bertanding di 99 ASL, yaitu Alumni SMA Negeri 1, SMA Negeri 8, SMA Negeri 5, dan SMA Cendana. Turnamen diselenggarakan dalam setengah hari saja, mulai dari pagi sampai dengan siang hari. Peringkat pertama dimenangkan oleh Alumni SMA Negeri 5, SMA Cendana, SMA Negeri 1, SMA Negeri 8, berturut-turut peringkat kedua ketiga dan juru kunci. Acara terbilang sukses dengan indikator animo masyarakat Pekanbaru (terutama pecinta sepakbola) memberikan respon positif terhadap acara tersebut, dan silaturahmi antar alumni terjalin dengan baik. Kawan-kawan lama yang sudah lama bahkan sangat lama tidak bertemu dapat bertemu kembali, singkatnya acara ini menjadi ajang reuni dan nostalgia.

Setelah selesainya acara tersebut, alumni-alumni tersebut tetap bermain sepakbola, diuntungkan dengan ada tim yang sudah terbentuk, dan ada link atau relasi yang bisa dihubungi guna friendly match atau pertandingan persahabatan. Hal ini dilakukan minimal 1 x dalam setiap pekannya. Positif bukan? Sehat dapat dengan berolahraga sepakbola, kawan lama bertemu kembali, kawan baru dapat. Sungguh sangat menyenangkan sekali. Menurut rekan dari Alumni SMA Negeri 1 kebetulan juga sebagai Ketua 99sportmanagemant, hanya Alumni Cendana yang timnya masih utuh, tim-tim alumni SMA lainnya tidak utuh lagi dibuktikan dengan tidak adanya friendly match atau pertandingan persahabatan yang mereka lakukan minimal 1x sepekan dengan tim-tim sepakbola yang ada di Pekanbaru dan sekitarnya. Penulis sebagai salah satu anggota tim Alumni Cendana tentu saja senang dan cukup bangga dengan kekompakan tim Alumni Cendana, tanpa maksud merendahkan tim alumni yang lain.

Seiring semakin besarnya ACFC, petaka muncul dari salah seorang oknum di tubuh tim ACFC yang merasa tidak senang atau tidak dihargai atau tidak didengar saran dan pendapatnya atau entah alasan apa yang oknum tersebut tidak pernah menyatakan dengan tegas dan lugas, kemudian keluar dari tim ACFC. Setelah keluar, oknum tersebut mengumpulkan orang-orang kemudian membentuk tim dan menamakan tim tersebut ACFC juga. Inilah awal dualisme ACFC. Selanjutnya tidak hanya sampai disitu, pada awal tahun 2023 yang lalu oknum tersebut membuat Akta Pendirian di Notaris dengan nama ACFC. Kemudian mengilegalkan ACFC lama yang lebih dahulu terbentuk dan masih eksis sampai sekarang. Penulis menamakan ada ACFC lama, dan ada ACFC baru (buatan oknum tersebut). Kemudian ACFC baru membuat Surat Petisi. Beginilah kondisi dualisme ACFC saat ini. Selain mengikuti ASL 99, ACFC lama pernah menjadi peserta dalam League Fun Solidarity (LFS) di Rumbai dan sekitarnya, dan ACFC lama mengikuti 99 ASL Serie Ke-2 dan menjadi Juara Pertama pada akhir tahun 2022 yang lalu.

Penulis sebagai Praktisi Hukum dan Akademisi Ilmu Hukum, dalam menulis tulisan ini tentu saja melakukan pendekatan ilmu hukum dalam menulis tulisan ini. Pembahasan pertama yaitu mengenai wajibkah klub sepakbola sebagai organisasi berbadan hukum? Pada dasarnya olahragawan itu meliputi olahragawan amatir dan olahragawan profesional. Olahragawan profesional adalah olahraga yang dilakukan untuk memperoleh pendapatan (profit) dalam bentuk uang atau dalam bentuk lainnya yang didasarkan atas kemahiran berolahraga.

Setiap olahragawan profesional mempunyai hak untuk :
a.    Didampingi oleh : manajer, pelatih, tenaga medis, psikolog, dan ahli hukum ;
b.    Mengikuti kejuaraan pada semua tingkatan sesuai dengan ketentuan ;
c.    Mendapatkan pembinaan dan pengembangan dari induk organisasi cabang olahraga, organisasi olahraga profesional, atau organisasi olahraga fungsional ;
d.    Dan mendapatkan pendapatan yang layak.

Olahragawan profesional memperoleh pembinaan dan pengembangan dari cabang olahraga profesional dan/atau bergabung dalam cabang olahraga amatir yang dinaungi oleh suatu lembaga mandiri yang dibentuk oleh pemerintah.

Jika orientasi organisasinya adalah profit, maka bisa memilih untuk mendirikan badan usaha yang berbadan hukum (BUBH) atau badan usaha yang tidak berbadan hukum (BUTBH). BUBH dapat berbentuk PT, yayasan, dan Koperasi. BUTBH dapat berbentuk CV, Firma, dan Perusahaan Perorangan. Tidak ada aturan yang mengatur secara eksplisit mengenai klub sepakbola sebagai organisasi olahraga profesional harus berbadan hukum atau tidak.

ACFC baru telah mengeluarkan Surat Petisi. Atau lebih tepatnya Petisi Online. Apa itu Petisi? Petisi adalah kritik atau saran melalui sistem, yang biasanya dilakukan oleh suatu elemen masyarakat kepada Negara/Pemerintah terhadap kebijakan yang tidak/kurang baik. Petisi online saat ini menjadi salah satu wadah demokrasi yang membawa masyarakat untuk mengemukakan pendapat atau argument lewat media online. Petisi merupakan pernyataan yang dikemukakan kepada pemegang kekuasaan yang dalam hal ini adalah pemerintah untuk mengambil tindakan terhadap suatu issue yang berkembang ditengah masyarakat. Petisi hadir akibat dari ketidakpuasan masyarakat tentang kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Berkaitan dengan pengajuan hak berpendapat dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, membuat sebagian besar masyarakat mempertimbangkan metode petisi sebagai sarana menyampaikan kritik dan saran.

Kebebasan melayangkan petisi di Indonesia merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Namun, menyampaikan pendapat melalui petisi masih menimbulkan beberapa masalah. Petisi tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Serta tidak adanya peraturan yang dapat mendefinisikan jaminan maupun kewajiban bagi pembuat kebijakan untuk merespon petisi tersebut. Petisi diartikan sebagai bentuk pengaduan, pengujian atau permintaan untuk memperbaiki ketidakadilan. Kurangnya peran pemerintah dalam mengakomodasi hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat, membuat masyarakat memilih demonstrasi sebagai jalur aspirasi. Namun, demonstrasi yang sering terjadi cenderung rusuh dan merugikan masyarakat itu sendiri. Sehingga kini masyarakat mempertimbangkan metode petisi sebagai sarana penyampaian kritik dan saran kepada pemerintah. Perkembangan zaman membuat petisi konvensional berkembang menjadi petisi yang dihimpun oleh jaringan internet. Petisi online menjadi wadah baru masyarakat dalam menyampaikan pendapat tanpa dihantui rasa takut dianggap menghasilkan tuduhan ujaran kebencian jika menyampaikan aspirasi di media sosial.

Petunjuk teknis pengaturan petisi di dalam undang-undang belum ada. Belum adanya kekuatan hukum dari petisi yang akan membuat pemerintah untuk merespon, serta bagaimana petisi dapat mempengaruhi demokrasi, penyelengaraan ketatanegaraan, dan perlindungan hak asasi manusia. Di Indonesia, petisi belum disediakan oleh pemerintah, melainkan ditampung oleh NGO (Non Government Organization) sehingga tidak ada jaminan bahwa pemerintah akan menanggapi sebuah petisi. Meskipun demikian, efek yang ditimbulkan oleh petisi masih bisa sedikit dirasakan dan direspon meskipun belum ada aturan yang mengharuskan. Sehingga Indonesia memerlukan payung hukum terhadap petisi. Indonesia perlu memiliki kepastian hukum yang sesuai untuk memastikan bahwa kritik dan saran melalui sistem petisi memiliki daya paksa untuk ditinjau dan direspon secara wajib oleh pemerintah. Meski belum ada kekuatan hukum petisi di Indonesia, namun petisi merupakan hak masyarakat dalam berekspresi dan berpendapat yang diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Petisi di Indonesia merupakan hak yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 44 berbunyi “setiap orang berhak sendiri maupun bersama-sama mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usaha kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, efisien baik lisan maupun tulisan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Efektivitas petisi online terletak pada kemampuannya dalam mempertahankan partisipasi masyarakat dan mempengaruhi pengambilan keputusan untuk mengatasi ketidakadilan, karena petisi berpeluang besar untuk menjadi ruang partisipasi yang jelas dan responsive terhadap kebutuhan masyarakat. Kemampuan petisi online untuk memfasilitasi permintaan perubahan kebijakan publik dan menghubungkan masyarakat dengan pembuat kebijakan mengindikasikan bahwa petisi online dapat dimanfaatkan menjadi advokasi kebijakan.

Penulis : Dedy Felandry, SH., LL.M. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning

 

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER